Tradisi Memberi Nama

Tulisan ini ditulis tiga tahun yang lalu oleh teman baik saya … Pak Agus Fathuddin Yusuf … yang kebetulan menjadi wartawan senior harian “Suara Merdeka” di JaTeng. Tulisan ini saya posting diblog saya ketika aku kangen sama si “Omy or Akrom Karuma Ferdian“. Tulisan ini telah saya edit dan bercerita tentang upacara pemberian nama anak saya si “Omy’ .

TRADISI upacara memberi nama (Walimatut Tasmiyah) mulai hilang. Orang Semarang biasa menyebut bancakan puputan. Biasanya bersamaan dengan putusnya tali pusar bayi, orang tua menggelar upacara aqiqah. Menyembelih dua ekor kambing untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. Pada saat itu biasanya digelar acara sroqolan atau srakalan yakni membaca shalawat barzanji sambil memotong rambut si bayi yang baru puputan.
belajar sholat

“Tradisi itu hampir hilang. Ini pertanda umat mulai melupakan Allah,” kata kiai kharismatik Habib Umar Muthohar SH. Ia memberi mauizah hasanah dalam Walimatut Tasmiyah cucu pertama H Ali M., dari pernikahan Farah Ahdawiyah dengan Munadi yang melahirkan anak pertama laki-laki bernama “Akrom Karuma Ferdian (Romi/Omy)“. H Ali M., sang istrinya dan besan H. Djasri tampak berseri-seri wajahnya menimang cucu pertamanya. “Nama itu mengandung doa, jadi orang tua jangan sembarangan memberi nama anaknya,” kata Habib Umar. Akrom Karuma Ferdian, menurut dia artinya “orang yang mulia di antara orang-orang yang dimuliakan“. Continue reading